Senin, 16 Januari 2012

Tentang kostku

Aku disini. Setelah shalat magrib dan selesai membaca quran aku duduk sendiri di depan lampu belajarku. Di ruangan yang tak lebih lima belas meter persegi inilah aku menempuh pendidikan awal kuliahku. Tak kusadari sudah lebih tiga bulan aku berada di ‘kotak’ kostku ini. Sendirian. Aku ingat, hanya buku-buku, tempat tidur, alat-alat memasak, dispenser, setrika, sapu, dan rak sepatu yang menemaniku selama ini. Dan tak lupa sebuah TV berwarna berukuran 30x30 cm yang sudah rusak sebulan yang lalu karena terlalu sering dinyalakan. Sebenarnya bukan baru kali ini aku menempuh pendidikaan jauh dari orang tua dan harus tinggal di kost. Aku sudah tinggal di kost sejak aku masuk SMA. Sendirian , ditemani barang-barang yang sama, jauh dari pusat kota, dan tanpa TV.

Malam ini tak ada yang berkunjung ke kos-anku. Seperti biasa. Semenjak TV di Kostku rusak, maka semenjak itu pun tak ada lagi yang berkunjung. Hanya sesekali kost-anku dikunjungi , itupun oleh seekor kucing hitam kelabu yang selalu memelas ketika makan malamku. Aku segera bergegas keluar kost menuju kantin di depan kostku. Aku harus berjalan setengah berlari ke sana karena sejak sore hujan mengguyur kost-an kusamku.

“Bukde nasi ikannya dibungkus ya?” Kataku terengah-engah.

“Waduh akh ganteng, kehujanan ya?” Jawab bukde balik Tanya.

Aku hanya tersenyum. Aku tahu pertanyaannya tak perlu dijawab. Seperti biasa. Setelah kata “…akh ganteng” biasanya kaliimatnya akan berlanjut dengan “…dari kuliah ya?”, “…kehujanan ya?, “…baru bangun ya?” , atau “…dari mana?”.

“Pake sambal nggak?” Tanyanya lagi.

“O… nggak usah bukde…” Jawabku.

“Waduh akh ganteng penyayang banget ya?”

“Maksudnya?”

“Biasanya orang yang nggak mau makan ‘pake’ sambal orangnya penyayang lho???”

Aku kembali tersenyum. Aku tak tahu harus menjawab apa. Aku tak ingin berdebat dengan orang yang lebih tua. Yang ku tahu orang yang kuhadapi ini sudah lama makan garamnya kehidupan, maka tak perlu kudebat pendapatnya tentang teori panyayangnya. Kulihat hujan mulai berkurang rintiknya, segera aku pamit dari kantin dengan setengah berlari.

“Hati-hati ya akh ganteng !!” Pinta bukde lirih.

“Ya bukde” Jawabku.


Masih setengah berlari. Kulihat seekor kucing dikejauhan mengejarku di rintik hujan. Tiba di depan pintu kostku, ia mengelilingi kakiku manja, berharap dapat kepala ikan atau kerupuk ikan. Hujan kembali deras. Segera kuangkat kucing itu dengan tangan kiriku, meletakkannya di atas keset, mengeringkan kaki dan badannya dengan tisu, setelah itu kembali ia mengelilingi kakiku dengan manja.

“Hei, kau mau kepala ikan?” tanyaku retoris dengan kucing itu.

“Meow…” Jawabnya.

Aku tersenyum. Aku ingat, tak ada hal yang lebih menarik yang dapat kuceritakan tentang kostku selain tentang bukde kantin di seberang kostku dan kucing hitam kelabu yang setia menemaniku makan malamku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar