Aku mengantuk malam itu. Tapi aku harus di depan lampu balajarku. Kelopak mataku turun dan turun. Maka jelaslah aku tertidur. Aku tak tahu seberapa lama aku tertidur, yang kutahu aku terbangun karena ada yang memanggilku.
“Hei bodoh, bangun kau !!!
“Siapa kamu?”
“Aku ide. Aku ingin kamu bangun dan tulis aku.”
“Kau tahu ini jam berapa? Aku butuh istirahat, besok aku harus ikut ujian mata kuliah yang penting. Jangan ganggu aku !!!”
“Mahluk tak berguna !! Kau biarkan aku yang rela datang malam-malam begini. Coba kau lihat dirimu. Terkulai tidur, sama seperti yang lain. Kau kira kau lebih baik daripada yang lain? Tidak, kau sama seperti mereka. Tukang tidur.”
Aku seperti tersengat mendengar kata-katanya. Amarahku membuatku tak lagi merasa mengantuk. Terpikir olehku untuk mengeluarkan semua umpatanku. Tapi tiba-tiba, sebuah pena menghantam wajahku dan jatuh tepat di tangan kananku.
“Bagus. Ayo cepat tulis aku. Waktumu tak banyak untuk menulisku.”
“Kenapa kau paksa aku untuk menulismu?”
“Karena kau diperintahkan untuk menulisku.”
“Siapa yang memerintahku untuk menulismu?”
“Tuhanmu.”
“Kenapa harus malam-malam begini?”
“Karena Ia ingin melihatmu berbagi idemu.”
“Kau sungguh tak menjawab pertanyaanku.”
“Tuhanmu pernah melihat catatan cita-citamu tentang menjadi penulis. Dan sekarang adalah waktu yang tepat untukmu menulisku. Berhentilah bertanya, tulis saja aku.”
Apa? Tuhan melihat catatan cita-citaku? Mana mungkin. Bukankah catatan itu sudah kusimpan lama di buku bahasa Indonesia SD-ku? Tak mungkin. Ia pasti berbohong untuk menggangu malam ujianku.
“Bagaimana kalau malam besok saja?”
“Tidak, harus malam ini juga.”
“Kumohon. Aku harus istirahat malam ini, besok aku ada ujian.”
Ia menaatapku benci. Mukanya menunjukkan amarah seakan ia ingin menyekap dan mengunciku di kamar mandi. Ia tak menjawab permintaan terakhirku itu, hanya matanya yang seolah berkata “Ya tuhan, kenapa kau ciptakan manusia seperti dia !!?” Tapi aku tak peduli, aku malah menguap lebar seolah aku benar-benar mengantuk.
“Maukah kau menulisku.”
“Tidak.”
“Sungguh. Aku melihat tanganmu adalah tangan para penulis besar. Alangkah bodohnya jika kau abaikan aku, karena tak semua orang bisa bertemu dengan idenya.”
“Tapi kau datang disaat yang tidak tepat bagiku. Kau sungguh tak tahu aturan. Kalau kau memang ideku tolong mengertilah aku.” Kataku seolah menasehati ideku sendiri.
Ia terdiam mendengar ucapan terakhirku itu. Kurasa aku berhasil menyadarkan ideku sendiri. Aku bersorak dalam hati dan berdoa agar ia segera meninggalkan aku. Dan samar-samar kudengar lagu ‘Indonesia Raya’ berkumandang di telingaku. Aku menang. Aku berhasil menurunkan bendera ideku.
***
Tapi sayang hingga lagu berakhir, ia tetap memandangiku benci. Sepertinya ia makin ingin menyekapku. Tapi bukan aku, jika tak tertantang membalas tatapan bencinya. Semakin lama menatapnya akhirnya api amarah membakar hatiku. Akhirnya dia yang memulai.
“Ingat, waktumu hanya sebentar untuk menulisku, kalau kau banyak bertanya, maka …”
“Apa? Maka apa? Kau tahu, kau sudah mengganggu orang yang tak mengganggumu !!!” kataku menyela ucapannya.
“Kau juga sudah menggangguku. Kau tahu. Kau terlalu lama menumpuk idemu di kepalamu. Aku sesak di antara ide-idemu. Sudah saatnya malam ini aku …”
“Apa? Sudah saatnya malam ini kau mengganggu tidurku !!?”
“Maaf waktuku habis melayanimu. Ingat pesanku baik-baik, jika kau merasa membutuhkanku, lakukan 3 hal, bacalah sesuatu, lihatlah sesuatu dari sudut pandang yang berbeda, jangan banyak bicara.”
Itulah kata-kata terakhirnya. Ia menghilang menjadi kunang-kunang cahaya dan terbang lewat ventilasi kostku, karena sebelumnya ia berwujud cahaya tepat di hadapanku yang duduk di atas kasurku.
Aku masih terpaku di atas kasurku setelah cahaya ideku lenyap. Aku merasa bersalah kepadanya. Aku tak tahu harus berbuat apa dengan pena yang ada di tangan kananku. Kucoba nyalakan lampu belajarku, mengambil kertas dan mencoba menulis sesuatu. Tetapi entah kenapa, rasanya tak ada apapun di batok kepalaku ini. Kucoba gerakkan penaku di atas kertas, tapi tak mampu, rasanya berat sekali hingga badanku bekeringat dan dapat kurasakan ada yang mengalir di sudut mataku, dan tiba-tiba semuanya gelap.
***
Aku terbangun di pagi harinya di meja belajarku dengan badan basah kuyup karena keringat. Aku terbangun karena suara dari lampu belajarku yang jatuh dari meja. Aku sungguh terkejut melihat jam pagi itu. Setengah jam lagi waktunya ujian. Segera aku mandi, tanpa sabun dan hanya gosok gigi. Aku sadar belum shalat subuh, tapi apa boleh buat, aku harus ikut ujian, begitu kata hatiku.
Aku berlari sekuat tenaga menuju kampus dengan perut yag merengek-rengek minta makan. “Dasar perut sial !!!” kataku sambil berlari. Akhirnya aku tiba di kampus dengan mencoba menghilangkan wajah kecapaian di depan teman-temanku setelah berlari. Kucari posisi yang tepat untuk ujianku kali ini. Ya, di pojok kiri kelas ada bangku kosong. Alangkah senangnya aku.
Belum lama aku mengambil nafas di bangku kelas, tiba-tiba ada teman yang berlari kegirangan dan berteriak “Woi, ujian ditunda minggu depan !!!”. Sontak saja seisi kelas bersorak dan aku, yang ada di sudut kelas itu, tertunduk lesu memandangi lantai. “Hei, kenapa kawan? Sudah belajar ya semalam? Hahaha…” ucap seorang teman melihatku memandangi lantai. Ya tuhan, berapa banyak yang telah kuabaikan, kataku dalam hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar